Thursday, October 4, 2018

Persepsi

Karena terstimulus dari percakapan dengan seorang teman yang jauh disana, tiba-tiba ada keinginan untuk menulis lagi disini. Hehe. Belum menemukan wadah yang lain sih.
Sometime the best place is where you find it hard to be found by others, i think.
So here I am.

Singkat aja, terkadang disaat kita menyadari kebiasaan kita, entah itu rutinitas atau apa, kita baru mulai berpikir. Apakah rutinitas tersebut hal yang baik bagiku atau orang lain? Apa rutinitas itu sudah benar kulakukan atau harus ada perbaikan? Apa rutinitas itu bermanfaat atau sia-sia?

Belakangan ini itulah yang terjadi pada insan ini. Bingung. Gelisah. Bimbang. Tak lama merenung, muncul sebuah gagasan dalam otaknya. "Mungkin rutinitasmu gak salah, tapi caramu memandang rutinitasmu adalah salah saat ini, mungkin justru disitu letak kesalahannya." Terdengar seperti sebuah pembelaan? Tapi jujur, itu yang kurasakan. Justru dari sana mungkin aku bisa mengambil hikmah nya.

Contoh nyata, aku bukan seorang yang benar-benar pintar di suatu pelajaran. Mungkin aku cepat paham, namun aku juga cepat lupa. Aku perlu latihan, tapi aku juga malas latihan. Itulah yang membuat nilaiku pas-pasan. Apakah itu hal baik atau buruk?
Di sisi lain, kemampuanku bisa dibilang rata-rata. Tidak ada pelajaran yang I'm really good at it juga tidak ada pelajaran yang I really am suck at it. Tengah-tengah. Namun, dari ketengah-tengahanku, hasil akhir yang ku dapat adalah menengah ke atas. Bukan hal yang cukup buruk.
Di situ aku berpikir. Hasil akhirku menengah ke atas, namun tidak jarang dalam pelajaran (seperti saat kuis, latihan, tugas) nilaiku justru menengah ke bawah. Bukan hal yang dapat ku banggakan tentunya. Tapi itu keraguan yang dapat kubagikan.

Jika aku melihat dari sisi kebodohanku, tentu saja aku merasa payah. Banyak dan seharusnya aku bisa mendapat nilai yang lebih baik di kelas. Namun kenyataannya berbalik.
Tapi jika aku melihat dari sisi kemanusiaanku, aku harus bersyukur. Karena bisa jadi itu salah satu cara Allah mengingatkanku, bahwa aku manusia yang memiliki batas kemampuan. Aku cukuplah berusaha sekuatku, semampuku, semaksimalku, namun semua yang diluar batasku ialah Dia yang mengatur. Aku hanya dapat memohon atas apa-apa yang diluar kontrolku kepada yang Maha Kuasa.

Sedih memang tidak bisa jadi sebaik atau sehebat orang lain. Lebih sedih lagi jika aku tidak bisa jadi lebih baik dan lebih hebat daripada diriku yang kemarin. Karena sejatinya musuh terbesar seseorang adalah orang itu sendiri :)
Bismillah. Hamasah!

Thursday, October 26, 2017

Diandalkan atau Mengandalkan?

andal/an·dal/ a 1 dapat dipercaya; 
(sumber : kbbi.web.id)

Di-andal-kan atau meng-andal-kan. Mana yang lebih sulit?

Diandalkan berarti seseorang atau orang lain mempercayai kita. Sebaliknya, mengandalkan berarti kita mempercayai orang lain.

Menurut pendapat pribadi, 'andal' bisa jadi sebuah 'amanah' dan itu juga merupakan beban yang dipikul tidak hanya di dunia, namun juga akan dipertanggung jawabkan di akhirat. Semua yang tersusun dari kata andal adalah hal yang tidak mudah karena berhubungan dengan orang lain. Tanggung jawab. Akhirat. Membayangkannya saja sudah merinding.


Namun hal diandalkan-mengandalkan ini juga tidak dapat dihindari. Sudah sewajarnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sudah sewajarnya dalam suatu kelompok terdapat pemimpin yang paling bertanggung jawab, orang yang paling diandalkan di kelompok tersebut. Itu sudah hukum alam.


Yang menjadi masalah, tidak semua orang yang diandalkan, bisa jadi ia tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Tidak semua orang yang mengandalkan, dapat menahan rasa kecewa itu.


Tidak jarang aku merasa bimbang, ingin diandalkan tapi banyak keraguan. Ingin mengandalkan, tapi apa harus bergantung terus?

Dan yang lebih menakutkan lagi adalah kecewa. Baik mengecewakan ataupun dikecewakan adalah hal yang tidak enak. Hal yang paling ingin kuhindari. Jika harus memilih, aku lebih memilih dikecewakan. Aku benar-benar tidak ingin mengecewakan orang lain. Namun disisi lain, mengecewakan bisa jadi adalah opsi yang lebih baik, karena ia telah berusaha untuk tidak mengecewakan. Sedangkan orang yang dikecewakan hanya berharap saja. Yah, sebenarnya tidak salah seutuhnya, toh mempertahankan harapan juga butuh usaha yang tak kalah besar. Hehe. Namun untuk saat ini, itulah yang ada di benakku.

Menjadi diandalkan maupun mengandalkan, semuanya adalah pilihan kita. Silahkan memilih. Kita hidup dengan memiliki hak untuk memilih. Apapun yang kita pilih, semoga itulah yang terbaik. Dalam menentukan setiap pilihan, jangan lupa sertakan Allah di hatimu, ucapkan Basmallah di benakmu, niatkan Allah untuk pilihanmu. Teruslah yakin, bahwa Allah mengerti yang terbaik untukmu.


Selamat diandalkan dan mengandalkan, kawan! Jangan pernah merasa sendiri, apalagi di saat lelah. Selalu ingat ada tanah untuk bersujud, ada langit untuk menyimpan doa.

Tak apa lelah, asalkan lillah! Aamiin...